At Taujih

Mengawal Wacana Iqomatuddiin

BATASAN MENTAATI PENGUASA DALAM HAL-HAL YANG DIHARAMKAN

عَنْ أَبِى سَلاَّمٍ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ كَيْفَ قَالَ « يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

dari Abu Sallaam, ia berkata : Telah berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Bagaimana itu ?”. Beliau bersabda : “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [Shahih Muslim no. 1847 (52)].

Sejak orang-orang kafir menguasai kaum muslimkin diberbagai lini dan menerapkan syari’at syari’at buatan manusia, maka keluarlah para muwahhidin untuk menggetarkan singgasana mereka. Para penegak tauhid berusaha menghancurkan pondasi-pondasi dan kekuasaan mereka. Hingga akhirnya terjadilah banyak pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan oleh para taghut. Dan penuhlah penjara para taghut dengan para ahli tauhid.

Para taghutpun tidak habis pikir. Mereka manfaatkan para ulama’ penguasa untuk menjadi tentara mereka dalam peperangan melawan ahlut tauhid.

Keluarlah ulama’-ulama’ su’ tersebut dengan peran mereka secara sempurna. Bahkan para ulama’ su’ tersebut telah berbuat dengan hal-hal yang tidak dibayangkan para tuannya. Mereka bolak balikkan teks-teks al qur’an dan as sunnah. Mereka permainkan hadist-hadit shahih dan yang maudhu’. Mereka tafsirkan al qur’an dan as sunnah sekehendak mereka. Semua ini dilakukan demi mendapatkan keridhoan dari sang tuan mereka.

Meluruskan pemahaman yang keliru
Banyak orang keliru dalam memahami hadist yang dicetak tebal dan bergaris bawah di atas. Mereka pahami bahwa ketaatan kepada pemimpin mutlak dilakukan. Walaupun seorang pemimpin tersebut memerangi syari’at islam, memakai undang-undang kekafiran, memerangi para penegak syari’at, dan juga telah merampas harta dan membunuhi orang secara dhalim.

Pemikiran seperti ini telah terbantahkan dengan beberapa poin, diantaranya ;
Pertama : Sebagian ahlul ‘ilmi telah mendho’ifkan lafadz ini. Imam Muslim rahimahullah menyebutkan secara mutaba’ah dari riwayat Abi Salam Mamthur al habsyi ad damsyiqi dari Khudzaifah. Dan Abu Salam belum mendengar dari Hudzaifah, maka hadisnya mursal.

Sedangkan Imam Daru Qudni dalam istadrok atas shahihain no 53 berkata : dan Muslim telah mengeluarkan hadist Mu’awiyah bin salam dari Zaid dari Abi salam dari Hudzaifah … hadit ini menurutku mursal, yang belum mendengar Abu Salam dari Hudzaifah.

Syaikh Juhaiman Al Utaibi rahimahullah berkata : Tambahan ini adalah dho’if karena tidak ada yang menguatkan. Dan laft tersebut adalah ujung dari hadist yang panjang. Awal hadist diriwayatkan al Bukhori dengan jalan yang shahih. Sedangkan tambahan di akhir hadist adalah tambahan yang tidak shahih. Dan hadist yang akhir tersebut adalah hadist yang terputus dan ia adalah dho’if. [ al imarah wal bai’ah wat tha’ah halaman : 34 ].

Dan berkata Ibnu Hajar dari Abi Salam : dan ia mursal dari Hudzaifah dan Abu Dzar dan selain keduanya. [ Tahdzibut tahdzib 10/296 ].

Demikianlah beberapa pendapat para ulama’ tentang kemursalan hadist untuk taat kepada pemimpin walaupun ia merampas harta dan memenggal leher kaum muslimin.

Kedua : Mentaati seseorang adalah dalam hal-hal yang ma’ruf. Jika penguasa memenggal kepala ummat islam dan merampas harta kaum muslimin, maka ketaatan pada mereka untuk mendukung perbuatan tersebut adalah bentuk kemaksiatan pada Allah Ta’ala. Perintah bersabar dalam berbagai hadist dimaksudkan bersabar untuk tidak menggulingkan kekuasaan karena bai’at yang telah diucapkan. Bukan bersabar dengan mendukung berbagai kemunkaran yang ada. Itupun dengan syarat seorang pemimpin masih muslim. Dan jika terjadi kekafiran yang nyata, wajib untuk digulingkan. Hal itu sesuai dengan keumuman hadist Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dia berkata yang artinya :
“Nabi shallallahu alaihi wasallam mengirim pasukan perang dan beliau mengangkat salah seorang dari mereka yang berasal dari Al-Anshar sebagai pemimpin, dan beliau memerintahkan mereka untuk menaatinya. Di tengah perjalanan, pemimpin mereka marah maka dia berkata, “Bukankah Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memerintahkan kalian untuk menaatiku?” mereka menjawab, “Betul.” Dia berkata, “Kalau begitu saya perintahkan kepada kalian agar mengumpulkan kayu bakar lalu kalian menyalakannya kemudian kalian masuk ke dalamnya.” Maka merekapun mulai mengumpulkan kayu bakar lalu menyalakannya. Tatkala mereka akan melompat masuk ke api tersebut, mereka hanya berdiri sambil memandang satu sama lain. Lalu sebagian di antara mereka berkata, “Kami hanyalah mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam karena menghindar dari api (neraka), kalau begitu kenapa kami akan memasukinya.” Demikian keadaan mereka hingga apinya padam dan kemarahan pemimpinnya reda. Hal ini kemudian diceritakan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam maka beliau bersabda, “Seandainya mereka masuk ke dalam api tersebut niscaya mereka tidak akan keluar darinya (neraka) selama-lamanya. Sesungguhnya ketaatan kepada pimpinan itu hanya dalam perkara yang baik.” (HR. Muslim no. 1840)

Perintah untuk masuk kedalam api dalam hadist tersebut sama dengan mentaati pemimpin walaupun merampas harta kaum muslimin dan memenggal leher-leher mereka.

Kesabaran itu bukan pada kedhaliman penguasa. Akan tetapi kesabaran itu pada bai’at yang telah ia ucapkan kepada seorang penguasa yang sanggup untuk menerapkan islam. Walaupun kadang fitnah tersebut menimpa seorang pemimpin dikemudian hari.

Ketaatan pada para pemimpin dan penguasa secara membabi buta ini dibantah oleh Ibnu Hazm dengan bantahan yang sangat indah. Beliau berkata : sedangkan perintah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam untuk bersabar walau pemimpin tersebut memukul punggungmu dan merampas hartamu, tidak diragukan lagi bahwa itu dilakukan dengan cara yang benar. Jika itu terjadi maka wajib bagi kita untuk bersabar terhadapnya. Jika ia tidak sabar dan tidak taat, maka ia adalah orang fasik dan bermaksiat pada Allah ta’ala. Sedangkan jika [ merampas harta dan memukul punggung ] hal tersebut pada kebatilan, kita berlindung dari Allah ta’ala dengan menuduh Rasulullah untuk bersabar dengan hal tersebut. Bukti dari hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala :

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. [ Al Maaidah : 2 ].

Dan kami tahu bahwa sabda Rasulullah tidak akan bertentangan dengan firman Allah Ta’ala. … maka sudah pasti bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullallah adalah wahyu dari sisi Allah Ta’ala. Sehingga tidak ada perselisihan dan pertentangan di dalamnya. Maka dengan hal tersebut seorang muslim tahu dengan tidak diragukan lagi bahwa mengambil harta seorang muslim atau dzimmi tanpa jalan yang dibenarkan adalah perbuatan dosa dan diharamkan oleh syari’at. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda : “sesungguhnya, darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian”. Maka tidak diragukan lagi dan tidak ada ihtilaf dikalangan kaum muslimin, bahwa siapa saja yang hartanya diserahkan secara dhalim, dan pungungnya untuk dipukul secara dhalim sementara ia mampu untuk melawannya dengan berbagai cara, maka ia telah menolong orang-orang dhalim. Dan perbuatan ini adalah haram menurut dalil dari al qur’an. [ al Fashlu 4/133 ].

Ketiga : Kemaksiatan yang disebutkan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam adalah kemaksiatan yang kecil dan belum sampai tinggakatan kafir. Nabi sallallahu alaihi wasallam tidaklah mengatakan “ dengarlah dan taatlah walaupun kalian diatur dengan hukum selain islam”. Atau perkataan “ walaupun mereka menolong orang-orang kafir atas kaum muslimin” dan yang lainnya.

Hadist-hadist Rasulullah telah jelas bahwa mendengar dan taat terhadap para pemimpin diikat syarat yaitu selama ia masih muslim. Dan perintah untuk taat dan tidak memberontak adalah dalam hal yang belum sampai tingkatan kekufuran.

Imam Ibnu Mundzir rahimahullah berkata : Telah sepakat para ahlul ilmi bahwa orang kafir tidak memiliki kekuasaan untuk menguasai orang islam dalam keadaan apapun. [ Ahkamu ahlud dzimmah 2/414 ].

Kita memohon pada Allah Ta’ala untuk diberikan penguasa yang menerapkan syari’at islam, membawa kesejahteraan ummat dan melindungi ummat dari musuh-musuh mereka. Dan kita memohon pada Allah untuk membinasakan para penguasa dan para ulama’ su’ yang memerangi islam dan para penegak tauhid dengan lesan, tulisan dan kekuatan mereka. Ketahuilah bahwa kemuliaan itu hanya milik Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, akan tetapi kebanyakan diantara mereka tidak mengetahui. [ Amru ]

Filed under: makalah, syubhat, Tafsir

Tinggalkan komentar