At Taujih

Mengawal Wacana Iqomatuddiin

AKIBAT DOSA BAGI KEHIDUPAN MANUSIA

akibat dosaSering kita berbuat dosa tanpa disadari. Tapi juga kadang tahu bahwa perbutan yang kita lakukan adalah dosa, namun kita tetap melakukannya Karena mungkin terasa enak. Padahal tidaklah seseorang melakukan dosa dengan tidak dibarengi penyesalan dan taubat, kecuali akan melakukan dosa-dosa yang lain dengan ringannya.
Setiap orang yang mencuri, pasti ia akan berbohong. Dan jika ketahuan maka ia akan mengancam dan bahkan membunuh orang yang mengetahui tersebut. Demikian pula orang yang berzina. Dia pasti akan berbohong untuk menutupi perbuatannya. Begitulah dosa akan menyeret pada pelakunya hingga pada dosa kekufuran terhadap Allah Ta’ala.

Dosapun juga menjadikan hati tidak tenang. Walau mungkin seseorang merasa senang saat melakukan dosa tersebut. Tetapi setelah dosa dilakukan akan melahirkan perasaan cemas dan kehawatiran yang terus menerus. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda;

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (HR. Muslim no. 2553).

Kalau boleh mengatakan, melakukan dosa itu pada saat melakukannya terasa enak, setelah itu coba rasakan hati apakah merasa enak? Kita yakin tidak. Karena sebenarnya dosa adalah biang kegelisahan hati manusia. Tidak akan memberikan ketenangan jiwa, tidak akan menentramkan bathin. Dan ujung ujungnya akan mendatangkan masalah baru dalam kehidupan.

Jama’ah jum’ah yang dirahmati Allah Ta’ala

Akibat dosa
Ada pepatah yang mengatakan “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Demikian pula dengan dosa yang kita lakukan. Dosa yang sedikit ternyata punya pengaruh yang besar bagi kehidupan kita. Maka tidak diperbolehkan seorang meremehkan dosa walaupun kecil karena sesuatu yang kecil jika dilakukan terus menerus akan menjadi besar.

Adalah para salaf sebagai generasi terbaik ummat ini memberikan contoh pada kita tentang sikap mereka terhadap perbutan dosa. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ
“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan (dosa) di hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para sahabat) yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap dosa semacam itu seperti dosa besar.( Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6492. ).

Namun, generasi setelahnya yang berbuat dosa besar, malah menganggapnya remeh. seolah-olah ia hanya berbuat dosa kecil atau bahkan tak merasa berbuat dosa dan maksiat. Sungguh sangat jauh jika dibandingkan mereka dengan generasi kita.

Ma’asyiral muslimin siding jum’at yang dimulyakan Allah Ta’ala
Ulama besar Islam, Ibnul Qoyim al Jauzi menyampaikan bahwa ada empat akibat yang akan timbul karena dosa.
Pertama adalah TERHALANGNYA ILMU. Mengapa?. Karena ilmu adalah cahaya dari Allah. Ia tidak akan masuk, kecuali ke dalam hati yang bersih.

Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di hadapan Imam Malik. Ketika itu Imam Malik terkesima dengan kelebihan yang dimiliki Imam Syafi’i. Lalu Imam Malik berkata, “Allah telah menganugerahkan seberkas cahaya dalam hatimu, maka janganlah sekali-kali kamu memadamkannya dengan kegelapan maksiat.”

Namun pada suatu hari ketika Imam Syafi’i sedang dalam perjalanan menuju rumah gurunya, Waki’ Ibnul Jarah, wasiat Imam Malik tersebut ia langgar. Ia melihat tumit seorang wanita. Seketika itu pulalah hafalannya kacau, padahal ia terkenal mampu menghafal persis seperti yang tertulis, bahkan agar hafalannya tak tercampur ia meletakkan sebelah tangannya di atas lembaran berikutnya. Imam Waki’ pun kembali mengingatkan Syafi’i terhadap nasihat Imam Malik, yaitu agar ia meninggalkan dosa sebagai obat manjur menguatkan hafalannya.

Imam Syafi’i kemudian mengakui ‘penyesalannya’ dengan mengatakan, “Kuadukan kepada Waki’ buruknya hafalanku. Maka ia menasihatiku agar aku meninggalkan maksiat. Ia juga mengingatkanku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah takkan diberikan kepada pelaku maksiat.” (Dr. Khalid Abu Syadi, Alangkah Buruknya Dosa, hlm. 13-14)

Bisa kita bayangkan seandainya orang seperti Imam Syafi’i hidup di jaman kita, pasti sangat sulit terhindar dari dosa. Gimana tidak, begitu keluar rumah banyak dijumpai wanita yang bukan mahram kita membuka auratnya. Bukan hanya tumit yang kelihatan seperti yang tak sengaja dilihat Imam Syafi’i, justru bisa jadi zaman sekarang banyak wanita yang kelihatan seluruh tubuhnya kecuali tumitnya.

Mungkin inilah yang menjadikan banyak di antara kita sangat buruk hafalannya. Karena setiap hari kita menyaksikan aurat wanita di mana-mana. Termasuk bagi yang perempuan juga., Mereka sering melihat aurat kaum lelaki. Meski mungkin jumlahnya lebih banyak kaum wanita yang ‘terbuka’.

Sudah selayaknya jika kita instrospeksi diri. Kenapa banyak di antara kita yang bodoh dan sedikit ilmu. Selain karena tidak pernah belajar juga karena kita banyak berbuat maksiat. Sehingga ilmu tidak bisa masuk kepada orang yang selalu berbuat maksiat. Mungkin sulitnya menghafal Quran, tidak masuknya ilmu saat majlis taklim, dan hati yang lesu tidak bersemangat untuk memnuntut ilmu penyebabnya adalah maksiat kita.

Kedua, Maksiat akan menghilangkan rasa malu. Berbuat dosa kepada Allah bisa menghilangkan rasa malu. Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr Anshari al Badri radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara ucapan yang diperoleh manusia dari kenabian yang pertama adalah: Jika kamu tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari no. 6120)
Maknanya bukan berarti bahwa Rasulullah memberikan kebebasan yang membawa manfaat, melainkan mengancam orang yang tidak mempunyai rasa malu dalam melakukan apa saja yang dia kehendaki, padahal risikonya ditanggung sendiri. Ungkapan itu seperti firman Allah Ta’ala :

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushshilat [41]: 40)

Malu bisa mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nuraninya. Perbuatan yang akan membuatnya merasa dikejar-kejar rasa bersalah. Dengan malu pula, kita bisa mencegah diri ketika akan melakukan dosa. Secara naluri memang demikian, siapapun orangnya yang masih punya hati nurani. Dan memang hanya rasa malu yang mampu membawa kepada kebaikan. Sabda Nabi yang mulia: “Malu hanya membawa kepada kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya rasa malu itu merupakan pagar yang paling kokoh untuk menjaga kita agar sendi-sendinya tidak tercerabut dan bangunannya tidak hancur. Jika seseorang senantiasa menjaga rasa malu ini, maka ia tidak akan melakukan dosa. Malu kepada Allah, manusia dan malu jika saudara-saudaranya orang yang beriman mengetahui. Namun sebaliknya, bila seseorang telah dicabut rasa malunya oleh Allah Ta’ala, ia akan berbuat dosa semaunya. Bahkan orang tersebut merasa bangga dengan dosa-dosa yang telah ia lakukan.
Tanpa kita sadari, ternyata kita sering mengabaikan sikap yang satu ini. Entah karena kita sudah merasa bahwa tak perlu punya rasa malu lagi, atau memang tak tahu malu. Pepatah baik yang disampaikan kepada kita dari siapapun sering kali kita mendiamkannya. Padahal, saat itu kita sedang melakukan perbuatan yang memalukan.

Jama’ah shalat jum’ah yang berbahagia
Yang kedua adalah TERHALANGNYA REZEKI. Allah akan menyempitkan dan menjauhkan rezeki yang seharusnya menjadi jatah kita karena maksiat. Kalaupun terlihat “melimpah”, sesungguhnya itu adalah istidraj. Yaitu penguluran dalam kenikmatan sehingga ia dicabut Allah dan belum sempat bertaubat. Allah hendak mencobanya dengan berbagai kekayaan. Ketika ia merasa bahwa Allah tetap baik padanya meskipun dia banyak maksiat, maka seketika Allah akan hempaskan ke kebinasaan. Seolah tiada artinya apa yang diperolehnya itu sama sekali.

Diriwatkan didalam musnad Al-Imam Ahmad (No. 21352, 21379, 21402), bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ وَقَدْ تَقَدَّمَ
“Seorang hamba benar-benar terhalang dari rizki karena dosa yang dilakukannya…”
Sebaliknya, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu sarana untuk memudahkan datangnya rezeki. Dan dengannya pula segala urusan yang susah akan menjadi mudah, yang sempit akan menjadi lapang, sebagaimana telah datang dalam firmanNya :

وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar dan memberi rizki dari arah yg tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Ma’asyral muslimin yang berbahagia
Demikianlah dosa menjadikan seseorang sengsasra di dunia, sebelum kesengsaranan yang abadi di kampung akhirat. Kta berdo’a semoga kita dijauhkan dari berbagai kemaksiatan dan dijadikan Allah Ta’ala cinta terhadap berbagai kebaikan. Diantara do’a yang diajarkan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah ;

اللّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيْكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اللّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا، وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا.

” Ya Allah, jadikanlah untuk kami bagian dari rasa takut kepadaMu yang dapat menghalangi kami dari perbuatan maksiat (kepadaMu). Jadikanlah untuk kami bagian dari ketaatan kepadamu yang dapat menyampaikan kami kepada surgamu. Jadikanlah untuk kami bagian dari rasa keyakinan yang dengannya Engkau meringankan kami dalam menghadapi musibah dunia. Ya Allah, berilah kenikmatan kepada kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau menghidupkan kami, jadikanlah ia tetap ada pada kami, jadikanlah pembalasan kami kepada orang yang menzhalimi kami, berilah kami kemenangan atas orang yang memusuhi kami, janganlah Engkau jadikan musibah (yang menimpa) kami mempengaruhi agama kami, janganlah Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar dan puncak ilmu kami, dan janganlah Engkau jadikan orang yang tidak menyayangi kami (orang kafir dan orang zhalim) sebagai orang yang menguasai kami’.” [ HR. Diriwayatkan oleh al-Mubarak dalam az-Zuhd, no. 144; at-Tirmidzi, Kitab ad-Da’awat, Bab, 5/528, no. 3502; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah no. 404-405; ath-Thabrani dalam ad-Du’a` no. 1911; Ibn as-Sunni no. 446; al-Hakim 1/528; al-Baghawi no. 1374; al-Ashbahani dalam at-Targhib no. 2516 ].

Demikian khutbah yang kami sampaikan, semoga kita terjaga dari berbagai dosa dan dibimbing Allah Ta’ala untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang senantiasa taat.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ إِنَّهُ هُوً الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ
[ Amru ].

Filed under: khotbah jum'ah

Tinggalkan komentar