At Taujih

Mengawal Wacana Iqomatuddiin

PENYEBAB KERASNYA HATI

hati yang kerasHati sesungguhnya diciptakan dalam keadaan lembut dan mudah tersentuh. Namun seiring perjalanan waktu, banyak hal yang menjadi bebal. Entah karena kemaksiatan atau jarang mengasahnya dengan ibadah dan tafakur.

Maka jika hati sudah bebal, untuk melembutkannya bukan pekerjaan ringan. Bahkan bagi sebagian orang ia lebih berat ketimbang pekerjaan lain semisal bersedekah. Karena itu, Abdullah bin Umar mengatakan, “Sungguh menangis karena takut kepada Allah lebih aku cintai daripada bersedekah dengan 1000 dinar.” Mungkin maksud Abdullah bin Umar, menangis karena Allah lebih berat dibanding bersedekah 1000 dinar.
Rasulullah berlindung dari hati yang keras dan tidak khusyu’.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan,” (HR. Muslim).

Agar hati menjadi lembut, peka, sensitif, khusyu’ dan mudah meneteskan air mata karena takut dan rindu kepada Allah, maka seseorang harus memahami penyebab pembebal hati. Inti dari pembebal hati ketika seseorang memberikan porsi berlebihan atau melampaui batas pada lisan, perut, dan syahwatnya.

Lima Penyebab Kerasnya Hati

Ada beberapa hal yang menjadikan kerasnya hati, sulitnya menerima petunjuk, dan sulitnya menangis karena Allah Ta’ala. Hati tidak pernah takut terhadap berbagai maksiat yang dilakukan. Peringatan dari para da’I dan khotibpun tidak menyentuh hati kita. Semua ini ada penyebabnya dan harus segera kita tinggalkan. Diantara penyebab-penyebab tersebut adalah ;

Pertama adalah; Banyak bicara. Apa hubungan lisan dan hati?. Lisan adalah duta hati. Islam mengajarkan umatnya untuk bicara yang baik. Jika tidak bisa, maka diam. Sebab keimanan seseorang terkait erat dengan sejauh mana seseorang menjaga lisannya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda ;

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
Tidak akan lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus lisannya. [ HR. Ahmad ].

Dalam hadist yang lain beliau bersabda ;
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang berimana kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata benar atau diam,” [HR. Al-Bukhari dalam al-Adab hadits (6018) dan Muslim hadits (47).].

Imam an Nawawi ketika mensyarh hadist ini beliau berkata : “Apabila salah seorang diantara kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik membicarakan perkara yang wajib maupun sunnah silakan ia mengatakkannya.

Jika belum jelas baginya, apakah perkataan tersebut baik dan berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan mubah, hendaknya ia tidak mengucapkannya.

Berdasarkan hal ini, sesungguhnya perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan dan disunnahkan menahan diri untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus ke dalam perkataan yang haram dan makruh, dan inilah yang sering terjadi.”[Syarh an-Nawawi untuk Shahih Muslim 2/209].

Sayangnya, masyarakat kita memiliki budaya lebih banyak bicara. Jangankan yang mubah, malah yang haram kebanyakan keluar dari mulut mereka. Mulai dari ghibah, berkata kotor, gosip, mengolok-olok dan menertawakan orang lain, dan bahkan kebohongan-kebohon lesan dalam bermuamalah. Yang lebih parah lagi, hampir semua program hiburan di TV selalu diisi oleh hal-hal yang haram tersebut.

Tetapi memang banyak ngomong tidak mesti jelek. Seperti para da’I dan para khotib yang menjelaskan kebenaran dan mengajak pada Allah Ta’ala, maka banyaknya ngomong mereka menjadi terpuji. Maka, kita harus dapat menempatkan perkataan. Kapankah harus banyak ngomong dan kapankah kita harus diam dan menahan pembicaraan. Dengan hal tersebut, seluruh apa yang keluar dari lesan kita akan menjadi kebaikan dan tidak mendatangkan dosa.

Kedua; Banyak tertawa. Tertawa bukan hal yang dilarang. Namun jika sering dilakukan dan melampaoi batas, maka menjadi tercela. Bahkan banyak tertawa akan mematikan hati. Sulitnya hidayah masuk, tidak tersentuh dengan peringatan-peringatan dari al qur’an dan as sunnah serta jauhnya ia dari Allah Ta’ala. Makanya nabi kita melarang untuk banyak tertawa sebagaimana dalam sebuah hadist;

أقِلَّ الضَّحِك ، فَإن كَثْرَة الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ
Persedikitlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati. [ Shahih adabul mufrad : 252 ].
Kebiasaan Rasululah adalah tersenyum dan bukan tertawa. Dan banyak senyum adalah hal yang diperintahkan oleh agama. Bahkan senyuman seseorang kepada saudaranya dinilai sebagai sedekah. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda ;

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ
Senyummu pada saudaramu adalah shdaqah [ HR. Ahmad ].
Tetapi Rasulullah sallallahu alaihi wasalam memperbanyak untuk menangis kepada Allah Ta’ala. Kebiasaan beliau ini juga diikuti oleh para khulafa’ ar rasyidun dan para sahabat lainnya. Beliau bersabda dalam sebuah hadist ;

والذي نَفسِي بِيَدِه لو تَعْلَمُون ما أَعلَمُ ، لضَحِكتُم قَلِيلا ولَبَكَيْتُم كَثيراً
Dan demi jiwaku yang ada ditangan-Nya, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. [ Adabul mufrad 254 ]

Maka tidak ada jalan lain jika seseorang menginginkan lembutnya hati harus meninggalkan banyak tertawa dan memperbanyak menangis karena Allah Ta’ala. Dengan demikian, hati akan lembut, mudah menerima peringatan-peringatan dari al qur’an dan as sunnah serta bergetar hati saat al qur’an dibacakan.
Ketiga; Banyak makan. Ketika seseorang banyak makan, otomatis ia menuruti syahwat perutnya. Semntara orang yang banyak makan akan menjadikan malas dan badan menjadi gemuk serta rentan penyakit. Tidak hanya itu, otakpun menjadi bebal dan sulit diajak berfikir. Karena itu, islam mensyari’atkan untuk banyak berpuasa baik yang wajib atau yang sunnah. Bahkan Rasulullah sallalhu alaihi wasllam bersabda ;

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أَكَلَاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada wadah yang paling buruk yang diisi manusia selain perutnya, cukuplah seorang anak Adam menyantap beberapa suap makanan saja yang dapat mengokohkan tulang punggungnya. Jika memang ia harus mengisi perutnya maka hendaknya ia mem-berikan sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya. [ HR. At-Tirmidzi dalam kitab az-Zuhd, hadits no. 2380, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Jaami’ush Shahiih (no. 5550)].

Keempat; banyak dosa. Baik dosa besar atau dosa kecil, keduanya berpengaruh negatif pada hati. Ayat yang patut jadi renungan adalah firman Allah Ta’ala:

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka,” (QS. Al Muthoffifin: 14).

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan ‘ar raan’ yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’,”(HR Tirmidzi).

Kelima; Teman yang buruk. Sebagian ulama salaf berkata, “Kerasnya hati karena empat hal: melampui batas; makan, tidur, bicara, pergaulan.”

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً * يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلاناً خَلِيلاً . لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولاً

“Dan (Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) Aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiKu; kiranya Aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia Telah menyesatkan Aku dari Al Quran ketika QS Al Quran itu Telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia,”(Al-Furqan: 27-29).

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu tergantung kepada agama teman dekatnya. Maka hendaklah seseorang melihat siapa yang dijadikan teman dekatnya,” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Itulah beberapa penyebab kerasnya hati sehingga sulit untuk menangis dan tidak ada rasa takut pada Allah Ta’ala. Sebagai seorang muslim wajib bagi kita untuk menjauhi perkara-perkara di atas, jika kita memang masih sayang terhadap hati kita. Karena hati yang takut pada Allah akan dijanjikan jannah, sementara hati yang tidak pernah takut pada Allah dijanjikan neraka. [ Amru ].

Filed under: makalah, tazkiyah

Tinggalkan komentar