At Taujih

Mengawal Wacana Iqomatuddiin

DAKWAH MENJADI UDZUR DI AKHIRAT

وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (164)فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (165) فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ (166)

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa”. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina . (QS. Al-A’raf 164-165).

Dakwah adalah tugas setiap orang. Mulai dari para da’I dan juga para ulama’nya serta para pencari ilmu dan awamnya. Satu ayat yang jelas datangnya dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam wajib bagi seorang muslim untuk menyampaikannya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda ;
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).
Dakwah juga sebagai udzur seseorang di hadapan Allah ta’ala nanti di akhirat atas berbagai kemaksiatan dan kemunkaran yang terjadi di sekeliling kita. Dakwah juga sebagai sarana peringatan kepada orang-orang yang berbuat maksiat agar kembali pada Rob mereka.

Kisah ashabus sabt

Al-Haafizh Ibnu Katsiir menjelaskan bahwa tempat yang di maksud adalah Ailah satu kampung di pinggir pantai yang terletak antara Mesir dan Madinah.

Mereka, para penduduk Ailah tersebut, adalah orang-orang yang kokoh memegang ajaran Taurat dalam hal pengharaman hari Sabtu pada zaman tersebut. Pada hari Sabtu, ikan-ikan berenang dengan tenang di permukaan air dekat dengan tempat mereka. Pada hari itu Allah mengharamkan perburuan dan semua aktivitas bekerja, perdagangan, dan usaha-usaha yang.

Ketika mereka mengetahui hal tersebut, mereka membuat semacam tipu muslihat agar mereka tetap dapat berburu ikan pada hari Sabtu. Yaitu dengan cara meletakkan jaring-jaring dan perangkap-perangkap ikan, lalu membuat parit-parit yang dapat dialiri air sehingga air itu membawa ikan-ikan tersebut masuk ke parit-parit yang sudah mereka persiapkan. Dan apabila ikan-ikan tersebut telah masuk, maka mereka tidak akan bisa keluar dari situ. Mereka melakukan ini pada hari Jum’at. Jika telah tiba hari Sabtu, banyaklah ikan-ikan yang tertangkap pada jaring-jaring, tiada satu ikan pun yang selamat di hari Sabtu itu. Orang-orang Yahudi mengambil ikan-ikan itu setelah hari Sabtu. Mereka telah melanggar perintah Allah, melanggar hal-hal yang diharamkan olehNya dengan melakukan tipu muslihat tersebut. Maka Allah murka dan mengutuk mereka.

Ketika segolongan dari orang-orang durjana tersebut melakukan pelanggaran larangan dan berburu ikan di hari Sabtu, maka sebagian lainnya yang tidak melakukan pelanggaran itu terpecah menjadi dua golongan. Golongan pertama, mereka mengingkari perbuatan tersebut dan tipu muslihat yang dilakukan. sedangkan golongan kedua adalah mereka yang bersikap diam, tidak mengerjakan dan tidak pula dilarang tetapi mereka berkata, seperti yang disebutkan dalam firmanNya :

لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?”. Kenapa kalian larang mereka ?, padahal kalian tahu bahwa mereka akan celaka dan berhak mendapatkan hukuman dari Allah ?, tidak ada faidah peringatan kalian kepada mereka. [ Tafsir Ibnu katsir 3 : 494, maktabah syamilah ].

Maka golongan yang mengingkari perbuatan itu menjawabnya :
مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa.”

Ibnu Katsir berkata : “Agar kami memiliki alasan kepada Tuhanmu”, yaitu apa yang diwajibkan atas kami untuk beramar ma’ruf dan dan melarang dari kemunkaran. “Dan supaya mereka bertakwa”, mereka berkata : Semoga dengan pengingkaran ini, mereka bertakwa dan meninggalkannya. Dan kembali kepada Allah untuk bertaubat. Dan jika mereka bertaubat, Allah akan menerima taubatnya dan Allah akan menyayangi mereka. [ Tafsir Ibnu katsir 3 : 494, maktabah syamilah ].

Nasib Pemberi Nasihat
Dalam ayat selanjutnya disebutkan: Falammâ nasû mâ dzukkirû bihi (maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka). Pengertian nasû (melupakan) di sini adalah tarakûhu ‘an qashd (meninggalkan dengan sengaja). Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, frase ini memberikan pengertian bahwa ketika para pelaku maksiat dari penduduk negeri tersebut benar-benar mengabaikan peringatan orang-orang shalih yang melarang kemungkaran sebagaimana layaknya orang yang melupakan sesuatu, maka: Anjaynâ al-ladzîna yanhawna ‘an al-sû` (Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat). Yang disebutkan secara tegas disebutkan sebagai orang-orang yang diselamatkan adalah orang-orang yang melarang al-sû` (perbuatan jahat). Pengertian al-sû` di sini, sebagaimana dijelasakan Ibnu Jarir al-Thabari, adalah maksiat kepada Allah dan menghalalkan yang haram.

Nasib Kelompok yang Tidak Memberikan Nasihat
Dan firmanNya :
وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasiq. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina!”

Allah Ta’ala telah mengkhabarkan bahwa Dia telah membinasakan orang-orang yang zhalim dengan adzab yang keras dan menyelamatkan orang-orang beriman yang mengingkari perbuatan mereka. Dalam hal ini, Allah tidak menyebutkan nasib orang-orang yang bersikap tawaqquf terhadap kemungkaran orang-orang yang zhalim. Maka ada dua pendapat para ulama tafsir terkait hal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa golongan yang diam termasuk orang-orang yang diselamatkan Allah sementara yang lain berpendapat bahwa mereka termasuk orang-orang yang ikut dibinasakan Allah.

Pendapat yang shahih menurut para ulama muhaqqiq adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbaas, pemimpin para ahli tafsir Al-Qur’an, yaitu mereka (golongan yang tawaqquf tersebut) tidak digolongkan kepada orang-orang yang selamat sebab meskipun hati mereka tidak ridha terhadap perbuatan haram tersebut, hanya saja sepantasnya bagi golongan tersebut untuk melaksanakan amalan yang dianjurkan yaitu pengingkaran secara lisan. ini merupakan tingkatan nahi munkar yang paling tengah dari tiga tingkatan yang mana tingkatan yang paling tinggi adalah mengingkari dengan tangan, lalu mengingkari dengan lisan, dan yang terakhir mengingkari dengan hati. Ketika mereka bersikap tawaqquf, tidak berusaha untuk memberi peringatan, maka mereka tidak digolongkan kepada golongan orang-orang yang diselamatkan Allah Ta’ala.
Sedangkan penafsiran

كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Jadilah kera yang hina”.
Ibnu ‘Abbaas berkata : “Allah menjadikan mereka kera-kera dan babi-babi, maka ada yang menyatakan bahwa para pemuda kaum tersebut berubah menjadi kera-kera dan para orang tuanya berubah menjadi babi-babi.” [Jaami’ul Bayaan 10/529].

Al-Imam Ibnu Jariir meriwayatkan,” Qataadah mengatakan : “Ketika kaum tersebut melampaui batas atas perbuatan maksiat mereka, (Allah berfirman) Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina!” Maka mereka berubah menjadi kera-kera yang memiliki ekor yang saling berkerumun setelah dahulunya mereka berwujud para lelaki dan wanita.” [Jaami’ul Bayaan 10/529]

Al-Imam Ibnu Abi Haatim meriwayatkan dengan sanad hingga Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Apabila orang-orang Yahudi yang melanggar di hari Sabtu, maka dijadikanlah mereka kera-kera yang nyata, kemudian mereka binasa, tidaklah mereka dapat berketurunan dengan perubahan wujud mereka itu.”[ Tafsiir Ibni Abi Haatim no. 670 ]

Sedangkan imam Mujaahid berkata, “Diubahlah hati-hati mereka dan bukanlah (jasad) mereka yang diubah menjadi kera-kera dan babi-babi. Sesungguhnya hal tersebut adalah perumpamaan Allah kepada mereka, bagaikan perumpamaan keledai yang membawa (beban berat) di sejumlah perjalanan.” [Tafsiir Ibni Abi Haatim no. 672 ].

Pendapat Mujaahid ini adalah pendapat yang asing yang dinisbatkan kepada Al-Imam Mujaahid, menyelesihi teks Al-Qur’an dan pendapat para ulama dari kalangan salaf maupun khalaf.

Bagi kita, tak boleh ambil risiko. Jika kita ingin mendapatkan keselamatan dari azab secara pasti, tak cukup hanya meninggalkan kemaksiatan dan kemungkaran. Namun juga harus memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Tegaknya agama dan selamatnya ummat ini dari adzab Allah hanya dengan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Amru

Filed under: Tafsir

Tinggalkan komentar